Oleh : Fajrian Noor
Momentum HUT Kemerdekaan RI yang ke 67 menjadi renungan kilas balik sejarah perjuangan Bangsa Indonesia guna mencapai kemerdekaan yang hakiki, kini kita hanya dapat menikmati makna kemerdekaan itu dengan merenungi dan mempelajari kisah perjuangan para pahlawan yang dikisahkan heroik di dalam buku-buku sejarah. Namun, pernakah buku sejarah menceritakan bagaimana kondisi dan nasib Warga Eks Tapol PKI kini?hanya stigma pemberontak disuguhkan buku-buku sejarah terhadap mereka yang telah tiada dan membekas bagi mereka yang sebagian masih bertahan hidup.
Panasnya trik matahari menemani keberangkatanku menuju sebuah perkampungan di Kecamatan Amborawang Darat Kabupaten Kutai Kertanegara. Setelah menempuh perjalanan cukup melelahkan, dari arah Kota Balikpapan menuju sebuah Desa bernama Desa Siaga Kelurahan Argosari. Gapura tinggi berwarna merah berada di mulut jalan masuk jadi pintu selamat datang bagi siapa saja yang ingin bertandang, Pepohonan nan hijau di sisi kiri jalan dan beberapa petak tanaman padi, serta hamparan padang hijau di kanan jalan masuk ke lurahahan Argosari memanjakan mata siapa saja yang baru pertama kali bertandang ke pedesaan ini. namun sangat disayangkan jalan masuk sekira 2 kilometer dari gapura hingga kepemukiman warga kondisinya rusak. Badan jalan hanya berupa tanah cokelat laterit dan berlubang. Jalan baru mulus pun nampak dihadapanku berupa Hotmik (jalan semenisasi), beberapa ratus meter ketika akan memasuki pedesaan. Tibalah saya, di Desa Siaga, Nampak rumah- rumah milik warga khas pedesaan, di sisi kiri dan kanan jalan. Rumah milik warga pada umumnya berbahan kayu, hanya beberapa rumah yang menggunakan beton dan jarak antara satu rumah dengan rumah lainya pun relatif jarang sekira 5 meteran.
Desa Siaga, Kelurahan Argosari Kecamatan Amborawang Darat, Kabupaten Kukar, menurut sejarahnya merupakan perkampungan Eks Tahanan Politik pada Zaman Orde Baru. Perkampungan ini menjadi sentralisasi Eks Tapol yang pernah ditahan di kamp konsentrasi Tapol Orde Baru di Balikpapan. namun, kini tidak hanya warga eks Tapol Orde Baru saja, yang bermukim di perkampungan ini. melainkan, telah membaur dengan masyarakat lainya. Menggali informasi tentang kehidupan warga eks Tapol, merupakan tujuan saya mendatangi perkampungan ini, saya pun menghampiri salah seorang warga, kebetulan sedang duduk di pekarangan rumahnya tidak jauh dari badan jalan, bernama asrudin. Kepadanya saya bertanya tentang warga eks tapol perkampungan ini, namun tidak banyak informasi yang saya dapatkan dari asrudin. Dia hanya mengarahkan saya menuju kerumah salah seorang Eks Tapol yang memahami betul seluk-beluk sejarah berdirinya perkampungan ini,”lebih baik sampean datang saja kerumah Pak Untung Suyanto, di RT 03 rumahnya tepat di depan Gereja Katolik tidak jauh dari sini sekitar 500 meteran,”[1]ujarnya ketika itu kepada ku.
Setelah 15 menit, saya mengelilingi perkampungan ini, saya pun menemukan rumah beton berwarna hijau di jalan Pramuka RT 03 Nomor 24, beberapa ratus meter berhadapan dengan gereja katholik. Kemungkinan, ini Rumah yang dimaksud Asrudin, Ah…..tanpa berfikir panjang lagi saya pun menjambangi rumah berwarna hijau itu, Seorang Laki-laki tua mengenakan kopiah, dengan perawakan tinggi Menyambut kedatangan saya. Berjabat tangan dan berkenalan dengan nya, yah….lelaki paruh baya, mengenakan Kopiah dan berprawakan tinggi ini, bernama Untung Suryanto sang pemilik rumah. Saya pun menjelaskan maksud dan tujuan saya datang Kerumahnya, untuk menggali informasi tentang keberadaan warga Eks Tapol di perkampungan ini. Dia tidak sungkan, untuk berbagi cerita kepada saya tentang sejarah perkampungan dan warga Eks Tapol yang bermukim di perkampungan ini.
Untung pria kelahiran Sanga-sanga Kabupaten Kukar, 72 tahun silam ini, mulai bercerita tentang dirinya dan warga eks Tapol lainya ketika ditahan di Kamp-kamp konsentrasi atas tuduhan sebagai anggota PKI di zaman orde baru tepatnya pada tanggal 16 Maret 1970. Untung bercerita, dia ditangkap oleh aparat lima tahun usai tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S), tepatnya 16 Maret 1970. Dia dipenjara sekira 7 tahun anehnya, dia tidak tahu menahu, alasan pasti mengapa dia ditahan. Padahal, saat itu Untung, tercatat sebagai anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) -sekarang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kodam IX/Mulawarman (sekarang Kodam IV/Mulawarman). Untung tak bisa melupakan kejadian saat dia dijemput untuk kemudian ditahan di beberapa lokasi. Penangkapan dirinya terjadi pada Senin, 16 Maret 1970. Saat itu masih pagi. Dia sedang bersiap untuk menuju markasnya untuk apel rutin tiap Senin. Setiba di lokasi upacara, dia ternyata sudah ditodong dengan senjata oleh seseorang prajurit berpangkat Sersan Satu bernama Ali Maskud . Sersan itu membawa daftar 15 nama prajurit dalam kertas di tangannya.[2] “Jadi yang namanya ada di daftar waktu itu disuruh duduk kemudian pukul 12.30 truk datang menjemput kami . Saya dan 14 prajurit lainya langsung dibawa ke ruang pemeriksaan,” tuturnya.
Hingga pada pukul 15.30 dia dipanggil Panglima Kodam di salah satu ruangan Makodam untuk menjalani pemeriksaan Beragam pertanyaan ketika mengalami pemeriksaan, ditujukan kepadanya namun anehnya yang melakukan pemeriksaan terhadapnya bukan berlatar belakang TNI melainkan salah seorang Tokoh PKI. Dia, pun menanyakan alasan kenapa dirinya diperiksa namun, jawaban dari tokoh PKI tersebut menuduhnya juga turut terlibat organisasi PKI, lantaran ia sering mengikuti dan terllibat aktif dalam kesenian ludruk,[3]” Lha Wong saya menyenangi kesenian ludruk sejak remaja jadi,nggak ada hubungannya dengan PKI,” Cetusnya dengan wajah kecewa.
Setelah menjalani pemeriksaan dia pun ditahan di kamp konsentrasi, menurutnya, alasan penahanan dirinya karena menyukai kesenian ludruk. Bukan merupakan alasan yang masuk akal, dan tidak ada toleransi untuk dia membela dirinya, hingga akhirnya, selama 7 tahun dia ditahan di kamp konsentrasi Tapol Orde Baru yang berada di kota Balikpapan salah satunya gedung pelengkung, sebuah gedung yang memilki atap melengkung ketika itu terdapat di kawasan klandasan berdekatan dengan Kantor Pos. ada 500-an orang ditahan di gedung itu, termasuk dirinya. Beragam penyiksaan yang dialami para Tapol ketika itu di dalam gedung pelengkung tersebut, 500-an orang berada di dalam ruangan itu dengan kondisi bertelanjang dada dan berdesak-desakan.karena daya tampung ruangan di dalam gedung pelengkung tidak muat menampung Tapol sebanyak 500-an orang tersebut, dan terkesan dipaksakan. Begitupun, suhu panas harus mereka rasakan lantaran gedung pelengkung yang beratapkan seng dan hanya ada beberapa ventilasi di dalam ruangan, tak ayal membuat para Tapol tersebut kepanasan. Belum lagi siksaan fisik harus mereka terima, namun tidak demikian dengan Untung, selama ditahan di kamp konsentrasi tersebut.dia tidak pernah mendapatkan siksaan fisik,”karena mungkin saya berlatar belakang seorang ABRI, jadi, siksaan fisik tidak pernah saya alami,[4]” tuturnya
Tak sampai disitu, dia pun dan tapol lainya kemudian dipindahkan ke kamp konsentrasi lain di kawasan Sumberejo dan ditempatkan di 11 barak tahanan. Hingga pada 21 Desember tahun 1977 Untung dan Tapol lainya dibebaskan. Berbeda dengan tapol berlatar belakang Sipil, eks Tapol berlatar belakang TNI berjumlah 39 orang dengan kepala rombongan Letkol Sumarto (Mantan Dandim Gerogot ) yang juga turut ditahan atas tuduhan terlibat PKI setelah di bebaskan, terlebih dahulu dikumpulkan di lapangan merdeka Balikpapan, oleh Kapten Ummar maskun, ketika itu, diberitahu akan dimukimkan di Amburawang Darat. Kemudian, dia dan tapol lainya dibawa ke Argosari salah satu daerah sentralisasi warga Eks Tapol yang terdapat di perkampungan Amborawang Darat, Kabupaten Kukar, saat itu kondisi kawasan ini merupakan hutan belantara hanya ada 5 unit rumah percontohan di kawasan ini. namun, dia dan warga eks Tapol berlatar belakang TNI lainya ditempatkan di sebuah barak, terpisah dari warga eks tapol berlatar belakang sipil dan di bekali perlengkapan seperti cangkul, parang kapak dan alat-alat perlengkapan bercocok tanam lainya, untuk menggarap lahan seluas 50 hektar secara terpisah di kawasan ini, melibatkan sebanyak 160 kk dari latar belakang TNI dan Warga Sipil.
Ketika para Eks Tapol ini telah ditempatkan di Kawasan sentralisasi, sistem pengawasan oleh TNI sangat ketat terhadap mereka tak ubahnya tahanan. Bahkan, untuk keluar dari pemukiman ini guna berbelanja kebutuhan sandang, papan dan pangan saja, harus melalui pemeriksaan dan jika diijinkan, hanya diberi batasan waktu agar secepatnya kembali ke pemukiman ini. Baru di akhir tahun 1979 Perlahan seluruh warga mendirikan rumah hunian di kawasan sentralisasi eks Tapol ini, kemudian dibentuk lah RT namun, masih tergabung di Kecamatan Amborawang Darat, pada tahun 1996 dibentuk Desa persiapan dengan 2000 desa definitife. bersamaan dengan itu seluruh warga yang bermukim di perkampungan ini, memperoleh KTP dengan tanda E-T ( Eks Tapol) atau 30 di nomor induk KTP mereka sama dengan warga umunya, baru pada tahun akhir-1995 tanda E-T (Eks Tapol) di KTP mereka dihapuskan, dan di tahun 2003 Desa Siaga ini, menjadi kelurahan Argosari.
Meskipun kini ,kejelasan status warga Negara Indonesia tanpa predikat Eks Tapol telah lama tidak disandang oleh Untung, dan keluarga Eks Tapol lainya . Hal itu, belum cukup untuk merubah stigma masyarakat terhadap anak-anak mereka yakni, sulit untuk bisa bekerja di pemerintahan, khususnya menjadi tentara atau polisi. Memendam rasa kecewa masih dirasakan Untung sampai sekarang keinginanya hanya minta nama baik dikembalikan oleh pemerintah serta tidak ada lagi Diskriminasi baginya dan keluarga Eks Tapol alami, terlebih bagi Keluarga Eks Tapol yang berlatar Belakang TNI, hingga hari ini kejelasan status mereka sebagai anggota TNI masih mereka pertanyakan. Karena pada saat ditahan hingga dibebaskan sampai saat ini, tidak ada surat pemberhentian sebagai anggota TNI. Dengan demikian harusnya mereka masih bisa menerima hak-haknya sebagai anggota TNI. Tergabung dalam peguyuban korban orde Baru ( Pakorba ) berjumlah 39 anggota, menjadi wadah perjuangan mereka untuk menuntut keadilan atas kejelasan nasib warga Eks Tapol yang masih bertahan hidup di perkampungan ini,”Bersama Pakorba, saya dan teman-teman yang lain hingga hari ini terus memperjuangkan nasib kami, pada tahun 2006 kami melaporkan kepada KOMNASHAM pada 2008 perwakilan KOMNASHAM datang kemari. Kemudian, pada tanggal 12 Juli 2012 hasil penelitian yang kami terima menyebutkan apa yang dialami kami merupakan pelanggaran HAM berat,”[5] Tutur Untung Suryanto.
Momentum kemerdekaan RI yang ke 67 kini, belum mereka rasakan seutuhnya sebagai manusia yang merdeka. Suprapto, Failan, Ngadi Suradi, Kasmari, Merupakan sebagian orang-orang yang mengalami pahit getirnya kekejaman masa Orde Baru. Walaupun stigma Eks Tapol masih membekas di dalam diri mereka, namun, mereka tetap merupakan para saksi hidup, pelaku sejarah Orde Baru, yang mungkin 5, 10 atau 20 tahun lagi hanya menjadi selentingan yang kita dengar dari orang-orang disekitar kita. Kini di Usia senja para keluarga eks Tapol yang tersisa dan bertahan hidup ini menanti makna kemerdekaan yang utuh. atas keadilan serta kejelasan nasibnya sebagai warga Negara Indonesia.
Sekian……..
Dirgahayu HUT Kemerdekaan RI Yang ke 67
Minnal Aizin Waalfaizin, Mohon maaf lahir bathin
Merdeka,,, !!
Marhaen Menang,,,,!!
( Jumat, 17 Agustus 2012)
[1] Wawancara dengan Asrudin, warga Desa Siaga Kelurahan Argosari Kab. Kukar
[2] Wawancara Dengan Untung Suryanto Eks Tapol 1
[3] Wawancara Dengan Untung Suryanto Eks Tapol 2
[4] Wawancara Dengan Untung Suryanto Eks Tapol 4
[5] Wawancara dengan Untung Suryanto, ketika saya berkunjung ke Desa Siaga Minggu, 6 Agustus 2012, kebetulan pada saat itu para Eks Tapol yang tergabung dalam Pakorba ini, sedang mengadakan pertemuan.
Tidak ada komentar:
Write komentar