Terakhir kali diperbarui08.07.2016
Nurhadi Sucahyo
Foto Udara Lubang Bekas Tambang (foto: JATAM Kaltim)
Maraknya industri
pertambangan, khususnya batubara di Kalimantan, ternyata membawa dampak sangat
merugikan. Kini ada ribuan lubang bekas tambang yang dibiarkan terbuka dan
telah membunuh puluhan anak-anak.
Rahmawati, seorang ibu rumah tangga dari Samarinda, Kalimantan
Timur, sudah hampir dua tahun ini berjuang mencari keadilan atas kematian
anaknya, Muhammad Raihan Saputra. Akhir Desember 2014 lalu, anak kedua dari
empat bersaudara itu ditemukan meninggal di kolam yang terbentuk dari lubang
bekas tambang batubara. Di kota Samarinda saja, setidaknya ada 232 lubang
semacam ini, dan letaknya tak jauh dari pemukiman warga. Lubang yang terisi air
hujan ini, menjadi daya tarik bagi anak-anak yang tidak menyadari bahaya yang
tersembunyi.
Rahmawati dan juga ibu-ibu yang lain di Samarinda, tentu saja
sudah berusaha menjaga anak-anak mereka sebaik mungkin. Tetapi pada hari ketika
Raihan tenggelam, Rahmawati sedang terbaring sakit di rumah. Kawan bermain
Raihan lah yang pertama kali datang mengabarkan, bahwa anaknya itu tenggelam di
lubang tambang, yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya.
“Ibu tentu saja selalu
mengawasi anak-anak ibu, tetapi ibu tidak bisa mengawasi terus selama 24 jam ke
mana saja anak-anak ibu bermain. Setahu ibu, anak-anak itu bermain di dekat
sini saja. Tidak tahunya, dia berjalan sampai kesana dan tahu-tahu saya dikabari
kalau Raihan sudah meninggal,” ujar Rahmawati.
Sejak 2011 hingga sekarang, sudah ada 24 anak yang meninggal di
lubang bekas tambang ini, 15 di antaranya di Kota Samarinda. Lokasi tambang itu
sudah menyalahi undang-undang, karena berada kurang 500 meter dari permukiman
warga. Rahmawati sendiri sudah berkampanye mendesak pemerintah menutup
lubang-lubang ini, termasuk bertemu sejumlah menteri dan lembaga negara, tetapi
belum ada langkah yang diambil pemerintah. Padahal, sebagai ibu, dia hanya
ingin tragedi yang menimpa Raihan anaknya, tidak terjadi pada anak-anak yang
lain.
“Keinginannya itu, sampai ibu menyerahkan petisi kepada menteri
itu, kalau bisa Raihan ini menjadi korban yang terakhir, jangan sampai ada lagi
korban selanjutnya. Sangat sakit kehilangan anak, kata ibu sakit sekali
kehilangan anak sendiri. Karena itu lubang-lubang itu harus ditutup, jangan
sampai ada korban lagi. Apalagi yang menjadi pikiran ibu ini kan, di daerah
sini itu banyak teman-teman almarhum yang masih seusia dia,” imbuh Rahmawati.
Harapan Rahmawati tentu saja belum tercapai. Sejak kematian
Raihan, korban terus berjatuhan. Anak-anak sulit untuk dijauhkan dari lubang
yang telah menjadi kolam luas ini. Sebagian menjadi korban karena sengaja
berenang, terpeleset ketika bermain atau memancing di sana.
Komnas HAM mendesak pemerintah serius menangani persoalan ini.
Komnas HAM menyatakan sesuai amanat Pasal 71 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM,
pemerintah wajib mengontrol perusahaan yang melanggar HAM. Dalam kasus lubang
bekas tambang ini, Komnas HAM menduga terjadi pelanggaran HAM, karena telah ada
24 anak menjadi korban. "Sampai saat ini masih banyak area bekas tambang
yang tidak dipulihkan. Ini bukti pemerintah melakukan pembiaran dan tidak ada
penegakan hukum. Padahal proses hukum penting untuk memberi sanksi kepada
perusahaan. Selain merampas hak untuk hidup, hak atas keadilan dan hak atas
lingkungan hidup yang sehat dan bersih, lubang bekas tambang diduga menimbulkan
pelanggaran hak atas rasa aman dan hak anak," kata Siti Noor Laila, komisioner
Komnas HAM dalam rilis medianya.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur telah
membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menangani persoalan ini. Sebanyak 12
politisi lokal dari berbagai partai diberi tugas selama 3 bulan ke depan untuk
mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, mulai masyarakat umum, LSM hingga
perusahaan tambang. DPRD nantinya akan mengeluarkan rekomendasi dan diharapkan
pemerintah setempat menindaklanjutinya.
Didit Hariadi, dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan
Timur kepada VOA mengatakan, kasus lubang bekas tambang adalah bukti nyata
bagaimana industri tambang mengabaikan hukum. Pada saat yang bersamaan,
pemerintah daerah tidak memberikan reaksi yang cukup, bahkan cenderung
melindungi korporasi tambang. Kota Samarinda menjadi daerah dengan korban
terbesar, karena 71 persen wilayahnya menjadi area tambang. Lubang bekas
tambang yang bisa memiliki kedalaman lebih dari 100 meter ini, telah didiamkan
selama bertahun-tahun tanpa upaya pengamanan, apalagi penimbunan kembali.
“Kedalaman lubangnya bermacam-macam. Ada yang mencapai 100
meter, ada yang 80 meter tetapi ada pula yang lebih dari 100 meter. Padahal
sudah diatur dalam undang-undang, bahwa 30 hari pasca menambang itu, harus
ditutup. Tetapi yang terjadi adalah, lubang tempat anak-anak menjadi korban
meninggal itu, rata-rata lubangnya sudah ditinggalkan selama 3 atau 4 tahun,
dan bahkan ada yang sudah lebih dari 5 tahun,” ujar Didit Haryadi.
Didit menambahkan, Jatam dan masyarakat sudah sepenuhnya tidak
percaya terhadap kemampuan pemerintah daerah menyelesaikan kasus hukum ini.
Harapan mereka kini sepenuhnya ada di pemerintah pusat. Kasus lubang bekas
tambang ini tidak hanya persoalan lingkungan dan kemanusiaan, tetapi juga
kental dengan aroma korupsi. Jatam merekomendasikan sejumlah langkah untuk
memulai upaya penyelesaiannya.
“Solusinya, yang pertama buat daftar semua lubang bekas tambang,
terutama yang dekat dengan permukiman. Kemudian, cabut izin lingkungan
perusahaan yang melanggar hukum, pidanakan mereka. Ketiga, pemerintah harus
menghitung kerugian masyarakat, bukan hanya kerugian negara, atas kasus ini.
Jangan pula lupakan kondisi psikologis masyarakat, terutama yang menjadi
korban. Pemerintah harus mendampingi mereka,” ujar Didit Haryadi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengambil
tindakan atas kasus ini, tetapi hanya berupa penyegelan kawasan tambang.
Sementara pengusutan kasus hukumnya masih sangat lambat, diduga karena kekuatan
lobi industri tambang dan dana besar yang menyertainya. Dari data Jatam, di
Kalimantan Timur terdapat 4.464 lubang tambang dari 1.488 Izin Usaha
Pertambangan (IUP). Lubang ini tersebar di wilayah seluas 5,4 juta hektare. Air
yang menggenang di lubang bekas tambang ini sangat berbahaya karena memiliki ph
3,7 atau tergolong asam, dimana air baku ditetapkan memiliki ph normal 6-8.
Bisnis pertambangan di Kalimantan mulai bergairah ketika terjadi
lonjakan harga batubara di pasar internasional pada sekitar tahun 2008.
Pemerintah kabupaten dan kota di Kalimantan membuka kran perizinan tanpa
pertimbangan daya dukung lingkungan, hingga sekitar separuh wilayah Kalimantan
masuk wilayah pertambangan ini. Presiden Joko Widodo sejak menjabat berupaya
memperbaiki keadaan dengan mengalihkan kuasa perizinan ke gubernur. Pada gilirannya,
Gubernur Kalimantan Timur telah menetapkan moratorium izin pertambangan. Namun
lingkungan sudah telanjur rusak dan Kalimantan secara umum, kini sedang menuai
dampak dari obral izin tambang itu.
Sumber: voaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Write komentar