Sabtu, 09 Juli 2016

Tragedi Lubang Bekas Tambang di Kalimantan

Terakhir kali diperbarui08.07.2016
Nurhadi Sucahyo

Foto Udara Lubang Bekas Tambang (foto: JATAM Kaltim)
Maraknya industri pertambangan, khususnya batubara di Kalimantan, ternyata membawa dampak sangat merugikan. Kini ada ribuan lubang bekas tambang yang dibiarkan terbuka dan telah membunuh puluhan anak-anak.
Rahmawati, seorang ibu rumah tangga dari Samarinda, Kalimantan Timur, sudah hampir dua tahun ini berjuang mencari keadilan atas kematian anaknya, Muhammad Raihan Saputra. Akhir Desember 2014 lalu, anak kedua dari empat bersaudara itu ditemukan meninggal di kolam yang terbentuk dari lubang bekas tambang batubara. Di kota Samarinda saja, setidaknya ada 232 lubang semacam ini, dan letaknya tak jauh dari pemukiman warga. Lubang yang terisi air hujan ini, menjadi daya tarik bagi anak-anak yang tidak menyadari bahaya yang tersembunyi.
Rahmawati dan juga ibu-ibu yang lain di Samarinda, tentu saja sudah berusaha menjaga anak-anak mereka sebaik mungkin. Tetapi pada hari ketika Raihan tenggelam, Rahmawati sedang terbaring sakit di rumah. Kawan bermain Raihan lah yang pertama kali datang mengabarkan, bahwa anaknya itu tenggelam di lubang tambang, yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya.
“Ibu tentu saja selalu mengawasi anak-anak ibu, tetapi ibu tidak bisa mengawasi terus selama 24 jam ke mana saja anak-anak ibu bermain. Setahu ibu, anak-anak itu bermain di dekat sini saja. Tidak tahunya, dia berjalan sampai kesana dan tahu-tahu saya dikabari kalau Raihan sudah meninggal,” ujar Rahmawati.
Sejak 2011 hingga sekarang, sudah ada 24 anak yang meninggal di lubang bekas tambang ini, 15 di antaranya di Kota Samarinda. Lokasi tambang itu sudah menyalahi undang-undang, karena berada kurang 500 meter dari permukiman warga. Rahmawati sendiri sudah berkampanye mendesak pemerintah menutup lubang-lubang ini, termasuk bertemu sejumlah menteri dan lembaga negara, tetapi belum ada langkah yang diambil pemerintah. Padahal, sebagai ibu, dia hanya ingin tragedi yang menimpa Raihan anaknya, tidak terjadi pada anak-anak yang lain.
“Keinginannya itu, sampai ibu menyerahkan petisi kepada menteri itu, kalau bisa Raihan ini menjadi korban yang terakhir, jangan sampai ada lagi korban selanjutnya. Sangat sakit kehilangan anak, kata ibu sakit sekali kehilangan anak sendiri. Karena itu lubang-lubang itu harus ditutup, jangan sampai ada korban lagi. Apalagi yang menjadi pikiran ibu ini kan, di daerah sini itu banyak teman-teman almarhum yang masih seusia dia,” imbuh Rahmawati.
Harapan Rahmawati tentu saja belum tercapai. Sejak kematian Raihan, korban terus berjatuhan. Anak-anak sulit untuk dijauhkan dari lubang yang telah menjadi kolam luas ini. Sebagian menjadi korban karena sengaja berenang, terpeleset ketika bermain atau memancing di sana.
Komnas HAM mendesak pemerintah serius menangani persoalan ini. Komnas HAM menyatakan sesuai amanat Pasal 71 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, pemerintah wajib mengontrol perusahaan yang melanggar HAM. Dalam kasus lubang bekas tambang ini, Komnas HAM menduga terjadi pelanggaran HAM, karena telah ada 24 anak menjadi korban. "Sampai saat ini masih banyak area bekas tambang yang tidak dipulihkan. Ini bukti pemerintah melakukan pembiaran dan tidak ada penegakan hukum. Padahal proses hukum penting untuk memberi sanksi kepada perusahaan. Selain merampas hak untuk hidup, hak atas keadilan dan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih, lubang bekas tambang diduga menimbulkan pelanggaran hak atas rasa aman dan hak anak," kata Siti Noor Laila, komisioner Komnas HAM dalam rilis medianya.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menangani persoalan ini. Sebanyak 12 politisi lokal dari berbagai partai diberi tugas selama 3 bulan ke depan untuk mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, mulai masyarakat umum, LSM hingga perusahaan tambang. DPRD nantinya akan mengeluarkan rekomendasi dan diharapkan pemerintah setempat menindaklanjutinya.
Didit Hariadi, dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur kepada VOA mengatakan, kasus lubang bekas tambang adalah bukti nyata bagaimana industri tambang mengabaikan hukum. Pada saat yang bersamaan, pemerintah daerah tidak memberikan reaksi yang cukup, bahkan cenderung melindungi korporasi tambang. Kota Samarinda menjadi daerah dengan korban terbesar, karena 71 persen wilayahnya menjadi area tambang. Lubang bekas tambang yang bisa memiliki kedalaman lebih dari 100 meter ini, telah didiamkan selama bertahun-tahun tanpa upaya pengamanan, apalagi penimbunan kembali.
“Kedalaman lubangnya bermacam-macam. Ada yang mencapai 100 meter, ada yang 80 meter tetapi ada pula yang lebih dari 100 meter. Padahal sudah diatur dalam undang-undang, bahwa 30 hari pasca menambang itu, harus ditutup. Tetapi yang terjadi adalah, lubang tempat anak-anak menjadi korban meninggal itu, rata-rata lubangnya sudah ditinggalkan selama 3 atau 4 tahun, dan bahkan ada yang sudah lebih dari 5 tahun,” ujar Didit Haryadi.
Didit menambahkan, Jatam dan masyarakat sudah sepenuhnya tidak percaya terhadap kemampuan pemerintah daerah menyelesaikan kasus hukum ini. Harapan mereka kini sepenuhnya ada di pemerintah pusat. Kasus lubang bekas tambang ini tidak hanya persoalan lingkungan dan kemanusiaan, tetapi juga kental dengan aroma korupsi. Jatam merekomendasikan sejumlah langkah untuk memulai upaya penyelesaiannya.
“Solusinya, yang pertama buat daftar semua lubang bekas tambang, terutama yang dekat dengan permukiman. Kemudian, cabut izin lingkungan perusahaan yang melanggar hukum, pidanakan mereka. Ketiga, pemerintah harus menghitung kerugian masyarakat, bukan hanya kerugian negara, atas kasus ini. Jangan pula lupakan kondisi psikologis masyarakat, terutama yang menjadi korban. Pemerintah harus mendampingi mereka,” ujar Didit Haryadi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengambil tindakan atas kasus ini, tetapi hanya berupa penyegelan kawasan tambang. Sementara pengusutan kasus hukumnya masih sangat lambat, diduga karena kekuatan lobi industri tambang dan dana besar yang menyertainya. Dari data Jatam, di Kalimantan Timur terdapat 4.464 lubang tambang dari 1.488 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Lubang ini tersebar di wilayah seluas 5,4 juta hektare. Air yang menggenang di lubang bekas tambang ini sangat berbahaya karena memiliki ph 3,7 atau tergolong asam, dimana air baku ditetapkan memiliki ph normal 6-8.
Bisnis pertambangan di Kalimantan mulai bergairah ketika terjadi lonjakan harga batubara di pasar internasional pada sekitar tahun 2008. Pemerintah kabupaten dan kota di Kalimantan membuka kran perizinan tanpa pertimbangan daya dukung lingkungan, hingga sekitar separuh wilayah Kalimantan masuk wilayah pertambangan ini. Presiden Joko Widodo sejak menjabat berupaya memperbaiki keadaan dengan mengalihkan kuasa perizinan ke gubernur. Pada gilirannya, Gubernur Kalimantan Timur telah menetapkan moratorium izin pertambangan. Namun lingkungan sudah telanjur rusak dan Kalimantan secara umum, kini sedang menuai dampak dari obral izin tambang itu.
Sumber: voaindonesia.com


Tidak ada komentar:
Write komentar